Kenduri biasanya diselenggarakan di rumah shohibul hajat, di tempat lain atau di masjid atau musholla. Ini adalah kenduri yang diselenggarakan di beranda masjid NU Baitul Muslimin. |
Salah satu kekhasan Nadliyyin adalah
sikap akomadif-selektif terhadap tradisi kebudayaan. Selama ia mengandung
kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat, maka diterima dan dilestarikan
sebagai bagian kehidupan sosial.
Kenduri adalah salah tradisi yang
dilestarikan oleh kaum Nahdliyyin, khususnya di Pacarpeluk. Kenduri dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan makan untuk memperingati
peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri atau yang lebih dikenal
dengan sebuatan Selamatan atau Kenduren (sebutan kenduri bagi masyarakat Jawa) telah ada sejak
dahulu sebelum masuknya agama ke Nusantara.
Dalam praktiknya, kenduri merupakan
sebuah acara berkumpul, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala sesuatu
yang dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang sekitar
untuk datang dan berdoa yang dipimpin oleh orang yang dituakan atau kyai.
Perjamuan makanan dalam kenduri disebut
ambeng, yang terdiri dari nasi dan lauk-pauknya. Ambeng itu disajikan dalam
talam, nampan atau ember dengan alas dan tutup dari daun pisang. Ambeng yang
disajikan dengan model nasi yang dibuat lancip seperti miniatur gunungan
disebut dengan istilah tumpeng.
Kenduri diselenggarakan atas dasar
keimanan kepada Allah SWT. Oleh karena itu doa menjadi hal yang utama dalam
tradisi ini. Tujuannya adalah mengharap berkah dari Allah SWT, sehingga hajat
terkabul. Atas dasar itulah dapat dipahami mengapa makanan yang disajikan itu
disebut sebagai berkat.
Meskipun makanan itu dibawa pulang
hanya dengan berbungkus daun pisang, namun ia dimuliakan karena telah dibacakan
doa pengharapan berkat dari Allah SWT. Makanan itu pun disebut dengan istilah berkat.
Hal ini beda dengan makanan yang
disajikan sebagai konsumsi bagi tamu yang hadir dalam acara hajatan dengan
model kontrak sosial melalui pemberian uang atau barang (kado). Masyarakat
pedasaan menyebut kontrak sosial ini dengan istilah buwo. Makanan yang
disajikan dan dibawa pulang dalam acara ini tidak disebut berkat,
tapi songgong.
Melalui tradisi kendiri ini kita bisa
membedakan mana yang layak disebut berkat dan mana yang layak disebut
songgong. Inilah kearifan lokal yang tetap lestari di kalangan Nahdliyyin
Pacarpeluk.
Kenduri biasanya dilaksanan di rumah
orang yang punya hajat atau di tempat lain. Tetangga terdekat diundang untuk
mengamini doa yang dipimpin oleh orang yang dituakan. Dengan pertimbangan
kepraktisan agar tidak perlu lagi mengundang tetangga, kenduri biasanya juga
diselenggarakan di masjid atau musholla. Setelah sholat berjamaah usai, kenduri
dilaksanakan dengan para jamaah itu. Walhasil mereka pun pulang dari masjid
dengan membawa berkat makanan yang disajikan oleh shohibul hajat. {abc}
Jamaah putra membagi berkat dalam kenduri yang diselenggarakan oleh keluarga Suhar, Sabtu, 23-2-2019. |
0 Comments